A.
PENDEKATAN PEMUSATAN MASALAH
Suatu kurikulum (pada pendidikan orang
dewasa lebih tepat dipakai rancangan kegiatan) yang berpusat pada masalah,
mengarahkan pengalaman belajar pada kehidupan para peserta didik sehari-hari,
dan akan mempunyai manfaat secara langsung. Orang dewasa biasanya mereka akan
belajar apabila mereka dihadapkan pada masalah atau motivasi belajar akan
muncul apabila ada persoalan yang dihadapi. Contoh: di suatu desa atau wilayah
banyak penduduk yang dijangkiti demam berdarah, kemudian orang dewasa akan
berusaha memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat atau warga akan belajar
kenapa terjadi demam berdarah, serta upaya yang dilakukan dalam mengatasi
berjangkitnya demam berdarah.
Dalam pendekatan pemusatan pada
masalah, diskusi kelompok dan berpikir sangat dipentingkan, pada diskusi
kelompok akan terjadi keikutsertaan atau keterlibatan peserta didik, sehingga
terjadi hubungan-hubungan saling percaya antara peserta didik dengan
fasilitator, begitu juga sesama peserta didik.
B.
MODEL KHIT-PAN DI THAILAND
Konsep Khit-pan ini dilakukan dalam
program pendidikan luar sekolah di Thailand, dan konsep Khit-pan ini dapat pula
diterapkan pada pendidikan orang dewasa di Indonesia. Khit-pan ini berarti
dapat berfikir secara rasional dan kritis, pada akhirnya menuju pemecahan
masalah. Seseorang yang mengalami Khit-pan akan mampu mendekati masalah
sehari-hari secara sistematis. Ia akan mampu menelaah penyebab masalahnya, ia
akan mampu menelaah penyebab masalahnya, ia akan mampu mengumpulkan informasi untuk
pengambilan tindakan yang harus diambil, dalam rangka pemecahan masalah.
Konsep Khit-pan didasari filsafat
bhuda. Pertama; hidup adalah penderitaan, kedua; penderitaan dapat diatasi,
ketiga; untuk mengatasi, maka sumber penderitaan harus diidentifikasikan dan
kemudian baru mencari cara pemecahan yang baik.
Sehubungan dengan konsep Khit-pan,
maka pengembangan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan 4 strategi, yaitu:
1.
Strategi pertama sebelum merancang kegiatan
pembelajaran dilakukan lebih dahulu identifikasi kebutuhan warga belajar dalam
mencari kebutuhan belajar digunakan baseline survey. Hasilnya dipecah menjadi
73 konsep.
2.
Strategi kedua, merencanakan satuan pelajaran
dan proses diskusi, sehingga setiap pertemuan memberikan kesempatan untuk
berlatih dalam pemecahan masalah. Melalui pertemuan-pertemuan peserta didik
mengembangkan kemampuan kritis tentang keadaan dalam kehidupannya sehari-hari,
dimana mereka telah mempunyai pengalaman yang dapat mereka sumbangkan dalam
diskusi tersebut.
3.
Strategi ketiga, banyak menggunakan gambar atau
perangsang diskusi, dan berfungsi sebagai alat untuk mempraktekkan teknik atau
keterampilan memecahkan masalah. Tugasnya adalah menciptakan bahan-bahan
belajar yang merangsang untuk mengembangkan pola pikir yang rasional dan
kritis.
4.
Strategi keempat, kurikulum disusun secara luwes
untuk mengakomodasi keanekaragaman peserta didik. Hal ini memungkinkan kepada
tutor untuk menerapkan dan menyesuaikan program belajarnya dengan keadaan
lingkungan setempat dan menyesuaikan dengan minat peserta didik serta
dimasukkannya masalah-masalah baru yang diidentifikasikan oleh peserta didik
selama proses belajar berlangsung, suasana belajar diatur secara luwes.
Peraturan-peraturan di dalam kelas untuk orang dewasa lebih longgar dari pada
peraturan-peraturan yang berlaku pada sekolah-sekolah formal biasa. Tempat
belajar tidak harus di dalam ruangan dan juga di rumah penduduk, dibalai desa,
dan sebagainya. Cara duduk peserta didik tidak diatur seperti di dalam kelas,
sehingga pendidik dapat saling tatap muka.
C.
PENDEKATAN PROYEKTIF
Pendekatan proyektif yaitu
membelajarkan warga belajar melalui cerita pendek dan sandiwara. Setelah cerita
dimainkan, warga belajar berdiskusi tentang perilaku beberapa tokoh dalam
cerita pendek atau sandiwara tersebut. Radio dapat juga dipakai didalam
kegiatan pembelajaran pada orang dewasa. Berita yang disampaikan melalui siaran
radio dapat merangsang warga belajar untuk memberikan komentar berdasarkan
pengalamannya sendiri.
D.
PENDEKATAN APPERSEPSI-INTERAKSI
Pendekatan appersepsi-interaksi
dimulai dengan mengidentifikasi tema-tema masalah kehidupan sehari-hari warga
belajar. Bahan-bahan belajar yang didasarkan pada tema-tema itu, kemudian
disiapkan dalam lembaran-lembaran lepas berbentuk folder empat halaman, dengan
gambar/foto yang merangsang dihalaman mukanya. Di halaman dalam berisi cerita
terbuka mengenai masalah tertentu.
Dalam mempergunakan setiap unit
pengajaran pertama peserta didik menghubungkan pengalaman dan perasaannya
dengan gambar/foto yang ada di folder (appersepsi) kemudian warga belajar
membahas dalam suatu diskusi mengenai isi folder tersebut (interaksi) guru
berfungsi sebagai fasilitator, yaitu membantu peserta didik mencari
kemungkinan-kemungkinan dalam pemecahan masalah yang dibicarakan dalam diskusi.
Dalam situasi inilah peserta didik saling mendorong untuk mempertimbangkan
berbagai pemecahan masalah yang mungkin dipecahkan, sering pula hasil diskusi
itu menjadi dasar timbulnya kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di luar ruang
kelas, metode ini mendorong warga belajar berpikir sendiri, serta menyelesaikan
cerita itu dengan khayal.
E.
PENDEKATAN PERWUJUDAN DIRI (SELF ACTUALISATION
APPROACH)
Pendidikan perwujudan diri sendiri
dipergunakan oleh Maslow untuk menggambarkan kemanusiaan yang untuk pendekatan
perwujudan diri mempunyai 4 ciri utama, yaitu:
1.
Proses yang berpusat pada peserta didik
Pendekatan perwujudan diri dimulai dari suatu
kepercayaan yang kuat akan kemampuan individu, untuk menata kembali
kehidupannya sendiri, asumsi yang mendasar adalah kesempatan-kesempatan untuk
penemuan diri sendiri (Self Discovery)
dapat mengembangkan kemampuan diri sendiri. Dalam hal ini, fungsi fasilitator
terutama adalah menciptakan kesempatan-kesempatan untuk melibatkan peserta
didik sebagai pribadi yang utuh dalam proses pembelajaran. Fasilitator harus
dapat mengembangkan kemampuan peserta didik. Fasilitator harus mempunyai
kemampuan untuk mendengarkan pendapat-pendapat peserta didik, tidak mendominasi
pemikiran-pemikiran mereka, atau mendukung prakarsa-prakarsa mereka, apapun
prakarsa yang mereka cetuskan asal sesuai dengan norma-norma yang ada.
2.
Belajar sesama teman dalam kelompok (Peer Learning)
Proses mewujudkan diri sendiri, dimulai
dengan mengadakan hubungan saling mempercayai antara fasilitator dengan peserta
didik. Rasa saling mempercayai antara fasilitator dengan peserta didik,
merupakan persyaratan untuk mutlak diperlakukan, untuk menggerakkan proses
pertumbuhan kelompok. Tanpa adanya saling percaya antara fasilitator dengan
peserta didik, sulit didapatkan tingkat keikutsertaan yang tinggi. Fasilitator
harus menganggap peserta didiknya itu sebagai teman sejawat, setaraf dengan
dirinya menciptakan suasana saling menerima dalam melaksanakan pengalaman
belajar. Fasilitator dituntut harus jujur dalam berhubungan dengan peserta
didik dan konsekuen dalam usaha membantu peserta didik memainkan peranannya.
3.
Membantu timbulnya konsep diri yang positif
Konsep diri yang positif adalah cara
pandang seseorang tentang dirinya sendiri secara positif, dan sampai seberapa
jauh ia memandang dirinya sebagai pembawa perubahan. Pendekatan perwujudan diri
sependapat pula dengan anggapan bahwa perubahan yang efektif itu, jika dinilai
dari dalam diri seseorang, karena hal ini akan menimbulkan kemampuan-kemampuan
memperoleh sikap positif, serta menimbulkan kepercayaan pada diri sendiri yang
lebih besar. Karena itu peningkatan perwujudan diri akan memberikan rangsangan-rangsangan
yang mendorong prakarsa peserta didik. Setiap kali peserta didik merasa cukup
berani untuk mengambil prakarsa yang konstruktif, dan bukan hanya mengambil
tanggapan dan saran-saran dari fasilitator, hal ini bagi mereka tidak hanya
akan mendapat manfaat bagi perkembangan diri peserta didik. Pendekatan
perwujudan diri akan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengalami
penilaian dan penghargaan terhadap diri mereka dari orang lain, serta berusaha
pula untuk menyatakan pendapat yang menyimpang dari pandangan sesama peserta
didik.
4.
Daya khayal yang berdaya cipta
Pendekatan perwujudan diri menekankan
kreativitas, yaitu penggunaan daya khayal yang melampaui batas-batas analisis
fakta yang rasional. Banyak program-program dan kegiatan belajar yang dirancang
untuk membantu peserta didik yang motivasinya rendah dengan penekanan pada
pemecahan masalah.
Daya cipta dalam usaha-usaha pembangunan di
daerah pedesaan sangat perlu dirangsang. Masyarakat pedesaan tradisional
cenderung untuk mengadakan penyesuaian diri daripada melakukan inovasi, dengan
mengikuti tata cara yang tradisional, maka seseorang mendapatkan rasa aman,
meskipun dengan cara-cara tersebut tidak memberikan pemecahan yang memuaskan,
bagi pembangunan akan terhambat jika daya cipta dan daya pandang masyarakat
tidak dihidupkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar